/

Indonesia di Balik Gunungan Sampah

5 menit membaca

Kapan pertama kali kalian benar-benar mengenal Indonesia? Bila hal ini kalian tanyakan pada adik-adik di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung. Mungkin jawabannya, kami baru saja mengenal Indonesia seminggu yang lalu.

Pagi itu, kawan-kawan dari Jendela Lampung telah bersiap menjemput kami. Bagi mereka, tiap minggu pagi adalah saatnya berkumpul dengan adik-adik di TPA Bakung. Mereka kerap mengajarkan hal-hal baru untuk adik-adik pelajari. Misal saja hari ini, mereka sudah siap untuk mengenalkan Indonesia. Ya, Indonesia dengan beragam pulau cantik dan budayanya.

Tak jauh dari pusat kota, sekitar 30 menit, melewati jalanan dengan kontur berbukit di daerah Teluk Betung, Bandar Lampung. Sampailah kita di bukit-bukit sampah menjulang beserta truk. Bila kalian ingat betul bumi yang penuh sampah di latar belakang film bikinan Pixar Wall-E, kira-kira seperti itulah tempat adik-adik kita ini tinggal. Mereka pun menyambut kita dengan sapaan riang, ada pula yang langsung memeluk kakak Jendela yang saban minggu mengajar di lapak mereka.

Teng re teng. Musik riang pun diputar. Dimulai dengan senam pagi Gummy Bear sebagai pembuka acara, dinginnya pagi di Lampung seketika menghangat akan keceriaan mereka mengikuti gerakan beruang yang diperagakan oleh Kak Eko dari Jendela Lampung. “Hari ini kita kedatangan kakak-kakak baru dari Jakarta. Kak Mitha, Kak Windy, dan Kak Nuggie dari Jendela Jakarta, serta Kak Icha dan Kak Ika dari Buku Berkaki,” ujar kak Eko memperkenalkan kami. Dan paket donasi buku yang dibawa lintas kota pun akhirnya diserahkan kepada Kak Eko.

Tak disangka, adik-adik pun langsung menyerbu paket buku yang telah dibuka. Ada yang ingin membaca kartu kosakata, dongeng, atau buku pelajaran. Adik-adik yang belum bisa membaca, bisa ikut diceritakan oleh temannya atau memilih buku lancar membaca dan berlatih bersama kakak volunteer. Mereka diberi kesempatan 30 menit untuk membaca, untuk kemudian menceritakannya di depan teman-teman. Ira paling semangat maju menceritakan tentang putri duyung yang betah di pulau cokelat. Puji pun tak mau kalah menceritakan tentang anak yang rajin bersedekah. Ada juga Wahyu, yang semangat ‘demi mendapat hadiah’ membacakan tentang hari akhir ke teman-temannya. Kelakuan mereka sungguh kocak sekali. Berlanjut ke sesi selanjutnya, peta Indonesia pun dibuka dari gulungannya. Kakak-kakak Jendela menjelaskan masing-masing nama pulau dan kota-kota besarnya yang tercantum di peta. Ada Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, bahkan Maluku dan Papua. Mereka pun berlomba menebak sambil menempelkan kertas nama yang telah disiapkan. “Lampung, Lampung. Bali, Bali. Kalimantan… itu disebelah kiri dikit,” mereka saling bersahutan menyebut nama kota yang disebut kakak-kakak dari Jendela. Sungguh seru mengenal lebih dekat Indonesia di balik teriakan polos mereka. Hingga akhirnya mereka akan tahu di balik bahu mereka, janji untuk selalu merawat negeri dengan beragam pulau ini disematkan.

Menutup acara, sesuai janji di awal perkenalan, kakak-kakak dari Buku Berkaki akan menyuguhkan dongeng Nusantara. Kali ini Kancil tetap jadi bintang utama. Kerap dijauhi teman-temannya di hutan dan pak Tani, Kancil sedih dan berkeinginan agar mereka percaya bahwa ia anak yang baik. Adik-adik diajak berinteraksi bersama memikirkan bagaimana cara berbuat baik ke Buaya dan Pak Tani, hingga akhirnya mereka mau berkawan lagi dengan si Kancil. Keseruan kali ini harus ditutup dengan penyerahan buku “PS. I Love Mom”. Buku yang ditulis oleh kawan-kawan mereka di panti asuhan ini, semoga terus memantik semangat mereka untuk belajar dan berani berkarya.

Inilah semangat baru Indonesia-ku, yang tak luntur meski lahir di balik gunungan sampah. Terima kasih kawan-kawan Jendela Lampung atas kebaikan dan senyum hangatnya. Tetap berbagi dan saling menginspirasi!

 

Annisa Paramita

Penulis adalah Krucil yang merangkap mimin twitter Buki.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Cerita Sebelumnya

Kemeriahan Pesta Anak Merdeka

Cerita Berikutnya

Mengintip Mimpi di Sukawening

Terbaru dari Blog

#RabuBacaBuku: Na Willa

Siapa bilang kalau cerita anak hanya bisa dinikmati oleh para anak kecil? Mengambil latar belakang Surabaya