/

Perpustakaan Komunitas Sebagai Utopia Nyata

18 menit membaca
Suasana Perpustakaan Buku Berkaki di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta.

“A library in the middle of a community is a cross between an emergency exit, a life raft, and a festival. They are cathedrals of the mind; hospitals of the soul; theme parks of the imagination.” — Caitlin Moran, The Library Book

Saya percaya dalam diri tiap-tiap manusia tumbuh dendam masa kecil. Dendam itu, besar atau sepele, banyak atau sedikit, disadari atau tidak, mempengaruhi hidup kita hingga dewasa.
Saya lahir di dusun di mana saya tidak bisa mengakses buku bacaan, kecuali di perpustakaan kakek saya yang isinya tidak seberapa. Saya marah karenanya dan membawa kemarahan tersebut hingga kini.

Saya selalu ingin masuk sekolah yang memiliki perpustakaan bagus, tapi di kabupaten tempat saya menghabiskan masa kecil hal semacam itu sama dengan mencari toko permen di tengah hutan.
Ketika tamat SMA, pada 1997, saya tidak melanjutkan kuliah dan berangkat ke Makassar hanya untuk menghabiskan satu tahun usia saya membaca dan jadi anggota perpustakaan di semua perpustakaan yang mengizinkan saya. Ketika akhirnya kuliah, bersama sejumlah kawan, saya membuat ruang baca di Komunitas Ininnawa.

Selain ruang baca kecil yang tak pernah ramai itu, kami bikin Perpustakaan Punggung; kami ke kampus, setiap hari, dengan tas punggung yang cukup berat untuk membuat siapa pun bungkuk. Tas kami berisi buku-buku untuk bisa dipinjam teman-teman yang lain. Tetapi, anda tahu, pergi ke kampus saja beratnya minta ampun, terutama bagi pemalas seperti saya, apalagi harus membawa puluhan buku setiap hari.

Bersama mantan kekasih dan beberapa sahabat, pada 2004, kami mendirikan Kafe Baca Biblioholic. Tempat itu berhenti beroperasi sejak 2011. Namun, dua tahun lalu, bersama sahabat yang lain — saya selalu beruntung dikelilingi teman yang baik — kami kembali membangun perpustakaan komunitas di mana sekarang saya tinggal dan bekerja sebagai salah satu pustakawan. Namanya: Katakerja.

Selama hampir 20 tahun terakhir, bisa dibilang begitu, saya hidup di perpustakaan dan berikut beberapa hal yang saya pelajari.

1. Memiliki banyak buku bukan gaya hidup yang baik dan sama sekali tidak layak dibanggakan. Jika senang membaca, anda akan menghabiskan banyak uang membeli buku. Dunia penerbitan buku adalah dunia industri. Memajang banyak foto buku di Instagram, seperti yang kerap saya lakukan, tidak berbeda dengan memajang foto-foto jam tangan, mainan terbaru, atau kota terakhir yang dikunjungi.

Membeli banyak buku — meskipun lebih bagus daripada membeli banyak telepon genggam atau pakaian model terbaru — tetaplah laku konsumsi. Jika anda penggemar serial Harry Potter, misalnya, anda cenderung berusaha menonton filmnya dan membeli pernak-pernik yang berhubungan dengan buku tersebut. Begitulah industri bekerja. Hasil penelitian Rahma Sugiharti yang terbit jadi buku berjudul Membaca, Gaya Hidup, dan Kapitalisme (Graha Ilmu, 2010) mengulas cukup baik mengenai hal ini. Semakin banyak anda membeli buku, semakin anda memperkaya segelintir pengusaha buku. Terutama, jika anda hanya mau belanja di toko-toko buku besar semacam Gramedia atau Amazon.

Saya tidak menyarankan anda berhenti beli buku. Selain pustakawan, saya seorang penulis dan, tentu saja, saya ingin orang lain membeli buku-buku saya. Tetapi, berbeda dengan pakaian, satu buku bisa digunakan oleh banyak orang selain anda. Belilah buku-buku bagus, tapi jangan semata demi kepentingan sendiri — dan jangan untuk tujuan supaya anda bisa tampak lebih berbudaya daripada orang lain. Buku, seperti barang-barang lain, bisa tampil sebagai simbol-simbol semu kelas tertentu. Buku punya kekuatan menjadi benteng tebal yang memisahkan anda dari orang lain.

2. Semua orang ingin jadi penulis, tetapi tidak ada orang yang mau jadi pembaca. Kedengarannya lebay, tetapi saya pikir anda paham maksud saya.
Di perpustakaan-perpustakaan yang saya sebutkan di atas, sejak 2004, kami rutin membuka kelas penulisan. Sekarang, di Katakerja, kelas semacam itu dilaksanakan saban Kamis sore. Gratis.
Persoalan utama dari hampir semua peserta kelas tersebut adalah malas membaca buku. Saya percaya kelas-kelas penulisan tidak akan banyak membantu siapa pun untuk jadi penulis — apalagi sekadar membaca tips para penulis di Twitter. Menulis adalah perkara berpikir dan untuk bisa berpikir dengan baik kita butuh membaca banyak buku yang bagus.

3. Membaca adalah pekerjaan berbahaya. Anda barangkali melihat aktivitas membaca hanya berupa petualangan dari satu halaman ke halaman lain. Perjalanan dari satu hal-aman ke hal-aman yang lain. Anda salah. Pertama, anda bisa resah karena banyak membaca buku. Kedua, karena resah, anda berpikir untuk mengubah hal-hal yang anda anggap masalah— dan kemungkinan anda marah kepada diri sendiri karena menyadari anda adalah salah satu penyebab masalah tersebut. Ketiga, semakin banyak membaca buku, anda akan semakin tahu bahwa anda sebetulnya bodoh — dan siapa pula yang mau melakukan hal bodoh mengakui dirinya bodoh.

Baca juga:
Berbagi Kasih Natal Lewat YOTShare
Virus Buki Menyebar Sampai Tak Terhitung
Akhirnya Punya Perpustakaan Baru

Untuk menyemangati para pustakawan, di salah satu jendela Katakerja ada tulisan seperti ini: If you feel you’re stupid, read books. If you think you’re smart, read more books.

4. Semua orang mencintai kesunyian. Jika anda menyangkalnya, mungkin anda sedang ada masalah besar dengan diri anda sendiri. Kita butuh kesunyian dan karena itulah kita mengenal liburan, piknik, pelesir, atau apa pun namanya. Tetapi, manusia adalah hewan yang aneh. Mereka menghabiskan banyak uang berlibur untuk mencari ketenangan, tetapi pergi ke tempat-tempat ramai. Saya menulis catatan ini dari salah satu tempat paling sunyi di Makassar, di ruang baca Katakerja, tempat yang jarang sekali jadi tujuan piknik warga di kota ini.

5. Anda bisa lepas dari penilaian yang anda tidak suka dari orang lain. Orang-orang di sekitar anda— terutama yang tidak mengenal anda — dipenuhi prasangka dan hasrat untuk menilai anda, apa pun yang anda lakukan. Anda suka atau tidak, dunia semacam itulah yang kita huni sekarang. Tetapi, anda bisa membaca kapan saja, di perpustakaan, tanpa perlu khawatir disebut kutu buku, kurang pergaulan, atau talekang. Kata terakhir adalah istilah yang kerap dipakai di Makassar. Artinya, silakan anda cari sendiri.

6. Buku adalah media sosial yang baik — dan media anti-sosial yang menarik. Jika anda melihat seseorang membaca buku, sebetulnya anda sedang melihat sebuah buku menyarankan kepada anda seorang teman atau mungkin kekasih. Membicarakan atau mendiskusikan buku bersama orang lain yang juga senang membaca buku adalah satu dari sedikit kebahagiaan yang tidak mahal — dan jauh lebih baik daripada ikut membicarakan gosip terbaru para selebritas. Saling bertukar buku, tentu saja, juga lebih baik dibandingkan dengan bertukar pasangan.

Salah satu hal yang kami bayangkan mengenai Katakerja adalah menjadikannya media sosial offline di Makassar. Buku-buku di Katakerja bahkan tidak ditata berdasarkan kategori atau genre tertentu, sebagaimana umumnya perpustakaan, agar para pengunjung dan pustakawan memiliki satu lagi alasan untuk melakukan percakapan. Tetapi, cara paling ampuh, menurut pengalaman saya, untuk menghindari perbincangan dengan orang yang menyebalkan di tempat umum adalah membaca buku. Cara terbaik kedua dan ketiga adalah menampar dan meninggalkannya. Jika anda tidak pernah melakukannya, bawalah buku di tas ke manapun anda pergi, dan selamat mencoba.

7. Berlaku adil adalah hal tersulit pertama dari sepuluh hal paling sulit bagi manusia. Hal kedua, ketiga, dan seterusnya, saya belum tahu.
Semua buku di Katakerja bisa dipinjam secara cuma-cuma oleh para anggotanya. Tetapi, jika anda mau jadi anggota, ada syaratnya: menyetor minimal dua judul buku yang menurut anda penting untuk dibaca oleh orang lain. Hanya itu. Kami membayangkan perpustakaan Katakerja dikelola dan dimiliki secara komunal oleh para anggotanya. Kami juga berharap koleksinya adalah sekumpulan buku penting yang disarankan oleh banyak orang. Kami membangun Katakerja bukan untuk jadi pahlawan literasi atau semacam itu. Lagi pula, sekarang manusia mungkin tidak butuh pahlawan sama sekali.

Reaksi orang yang pertama kali berkunjung ke Katakerja umumnya kaget dan bingung. Mereka kaget menemukan sejumlah buku yang sudah lama mereka cari ternyata ada di Katakerja. Mereka bingung karena tidak tahu mereka harus membaca yang mana lebih dulu. Tetapi, tentu saja, mereka hanya boleh membaca di tempat karena belum menyetor buku. Beberapa hari kemudian mereka datang membawa dua buku yang paling tidak penting bahkan bagi mereka sendiri; buku yang sudah lama ingin mereka singkirkan dari rak buku mereka.

Tidak semuanya seperti itu. Ada beberapa orang yang dengan baik hati menyumbangkan buku-buku mereka yang betul-betul bagus. Tetapi, tampaknya kita memang belum bisa dan belum terbiasa berlaku adil. Kita selalu menuntut hal terbaik dari orang lain, tetapi tidak mampu melakukan hal sebaliknya.

8. Berciuman cuma bisa dinikmati bersama, jika kedua orang yang melakukannya sadar dan saling percaya. Mungkin kata berciuman tidak pas — tapi itu yang sedang saya pikirkan sekarang. Maksudnya, saya butuh kopi. Ini salah satu pertanyaan dari orang-orang yang pertama kali berkunjung ke Katakerja yang paling sering saya dengar: tidak takut buku-bukunya hilang atau tidak dikembalikan? Kami khawatir. Tentu saja. Pacar saja bisa diambil orang lain, apalagi buku. Tetapi, ada banyak hal yang bisa kami pelajari dengan membuka perpustakaan. Salah satunya: belajar percaya kepada orang lain.

Kita hidup di masa yang penuh kecurigaan dan, saya pikir, itu perangkap besar yang bisa membuat kita tidak mampu berbuat apa-apa untuk orang lain. Kita cuma mau melakukan hal-hal tertentu demi kepentingan diri sendiri. Kami ingin melihat Katakerja menjadi ruang di mana orang-orang bertemu, berbagi, belajar bersama, dan melakukan banyak kerja kolaborasi. Dan salah satu modal utama untuk melakukannya adalah percaya. Kami harus belajar percaya kepada para pengunjung, dan sebaliknya.

9. Buku-buku yang sudah dibaca sering kali tidak lebih berguna dibandingkan dengan buku-buku yang belum dibaca. Saya meminjam pernyataan tersebut dari Umberto Eco. Di salah satu bukunya, Nassim Nicholas Taleb membicarakan hal itu dan menyebut koleksi buku yang tidak dibaca sebagai antilibrary. Para pengunjung Katakerja sering bertanya kepada saya: sudah baca semua buku ini? Tentu saja tidak. Salah satu alasan saya menjadi pustakawan dan penulis adalah karena saya malas membaca. Para pustakawan Katakerja sebetulnya tidak lebih sekumpulan pemalas. Katakerja kami bikin, salah satunya, untuk jadi sekolah buat kami.

Kedua pekerjaan itu, penulis dan pustakawan, memaksa saya membaca. Namun, dikelilingi oleh buku-buku yang belum saya baca punya fungsi penting dalam hidup saya. Setiap kali melihat buku-buku yang belum saya baca, saya merasa sangat bodoh karena ada terlalu banyak hal yang belum saya ketahui di sekitar saya— dan karena itu membuat saya ingin membaca lagi.
Membaca buku adalah salah satu pekerjaan paling sulit yang saya tahu — dan itulah alasan kenapa banyak orang tidak suka membaca buku.

10. Perpustakaan komunitas bukan tentang buku, tetapi tentang manusia. Banyak orang — termasuk dan terutama pemerintah — yang masih memandang perpustakaan semata sebagai tempat membaca dan meminjam buku. Hal paling penting dari perpustakaan adalah apa yang bisa dilakukan manusia di dalamnya dan buku hanya alat untuk itu. Jika sekadar perkara buku, semua orang berduit bisa memiliki perpustakaan di rumah masing-masing. Tetapi, memiliki perpustakaan rumah, selengkap apa pun, tidak akan membuat anda bertemu dengan orang baru setiap hari di ruang baca anda.

Perpustakaan komunitas adalah tempat untuk belajar dan melakukan kerja-kerja bersama yang setara, partisipatif, dan demokratis. Setiap saat kita bisa membaca di Twitter, Facebook, atau di manapun di Internet orang-orang cerdas tidak lelah melontarkan ide-ide mereka mengenai hal-hal besar atau, misalnya, gerakan melawan kekuasaan negara yang bebal dan tidak adil. Tetapi, salah satu persoalan terbesar kita adalah tidak terbiasa mengerjakan hal-hal kecil bersama — sehingga terlalu sulit untuk bisa melakukan hal besar bersama-sama. Lupakan saja dulu revolusi!
Salah satu fungsi perpustakaan komunitas adalah menjadi ruang publik alternatif di mana kita bisa berlatih mengerjakan hal-hal kecil bersama.

11. Kita berpikir bahwa kartu kredit lebih penting daripada kartu perpustakaan. Saya sangsi anda memiliki kartu perpustakaan — dan saya tidak perlu meminta maaf karena itu.
Tidak memiliki kartu kredit adalah satu dari sedikit hal yang bisa saya banggakan di depan teman-teman saya. Setidaknya, tidak seperti sebagian dari mereka, saya terbebas dari surat tagihan bulanan. Kartu kredit, meskipun tidak menyerupai tali, sebetulnya adalah jerat yang bagus untuk leher anda sendiri.

Kita tidak menganggap penting kartu perpustakaan, salah satunya, karena kita hidup di kota yang jumlah mall dan ATM-nya jauh lebih banyak daripada perpustakaan. Lagi pula, anda mungkin berpikir, berbelanja membuat anda tampak lebih keren daripada membaca.

12. Perpustakaan komunitas adalah satu dari sedikit utopia nyata yang tersisa. Saya meminjam istilah Erik Olin Wright dari bukunya Envisioning Real Utopias (Verso, 2010). Istilah yang diperkenalkan Erik tersebut sepintas tampak oxymoron, mengandung kontradiksi yang parah dalam dirinya sendiri. Real Utopia tidak sesederhana itu. Prinsip distribusi yang berlangsung di toko buku adalah “kepada setiap orang sesuai kemampuan membayar”. Di toko buku, anda dinilai menurut isi dompet anda — yang barangkali bukan uang anda, karena anda menggunakan kartu kredit.

Jika anda pergi ke perpustakaan komunitas dan tidak menemukan buku yang anda butuhkan, misalnya, anda akan meminta pustakawan untuk memasukkan nama anda di daftar tunggu. Orang lain yang meminjam buku yang anda butuhkan akan merasa bersalah jika belum mengembalikannya tepat waktu. Prinsip distribusi yang berlaku di perpustakaan komunitas adalah “kepada setiap orang menurut kebutuhan”.

Pada bagian itu, saya tidak sepakat dengan orang yang mengatakan toko buku adalah surga di dunia. Saya lebih setuju ungkapan Jorge Luis Borges. “Saya selalu membayangkan surga,” katanya, “seperti perpustakaan.”

Dan semua hal yang saya sebutkan di sepanjang tulisan ini sudah cukup untuk membuat kita — atau setidaknya saya — percaya bahwa perpustakaan komunitas bisa menjadi dunia fantasi yang nyata. Real utopia. Surga.

Jika anda sepakat dengan hal-hal yang ada di tulisan ini, ada beberapa hal yang bisa anda lakukan. Pertama, mendukung perpustakaan komunitas di sekitar anda. Sila cari sendiri caranya. Kedua, ajak teman-teman anda membangun perpustakaan komunitas baru. Percayalah, kita tidak lantas jadi lebih penting atau lebih keren, apalagi lebih mulia, daripada siapa pun hanya karena ada ribuan buku di dekat tempat tidur kita sendiri. Ketiga, yang paling ringan, sebarkan tulisan ini.

Terima kasih —

**

M. Aan Mansyur
Penulis/Pustakawan, tulisan asli dari sini.

bukuberkaki

Ini adalah semacam gerakan sosial. Layaknya kaki, maka pasti hubungannya dengan jalan-jalan. Jalan-jalannya dari panti ke panti. Nah, yang jalan-jalannya adalah bacaan gratis.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Cerita Sebelumnya

Hakikat Waktu

Cerita Berikutnya

Catatan Kecil Kampung Dwimulyo

Terbaru dari Blog

#RabuBacaBuku: Na Willa

Siapa bilang kalau cerita anak hanya bisa dinikmati oleh para anak kecil? Mengambil latar belakang Surabaya