//

Sembalun dan Rumah Belajar Sangkabira

9 menit membaca

Aku hanyalah orang biasa,

Yang bekerja untuk bangsa Indonesia,

Dengan cara Indonesia

(Ki Hajar Dewantara)

Semesta itu bekerja dengan caranya yang misterius, seperti caranya memperkenalkan kami (tim Baraka Nusantara) kepada sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Rinjani. Desa ini dikenal dengan nama Sembalun – yang berasal dari kata Sembah (menyembah atau taat) dan Ulun (kepala atau atasan) yang dalam Bahasa Sasak berarti taat kepada atasan (dalam konteks ini adalah sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa dan Para Leluhurnya). Sejak dulu, Sembalun dikaruniai dengan tanah vulkanik yang subur, yang memudahkan warganya untuk bercocok tanam, mulai dari beras, sayur-mayur, bawang putih, vanilla, coklat, hingga kopi. Namun masa kejayaannya pun berangsur memudar.

Hingga akhirnya pada tahun 2013, Maryam dan Reman (pendiri Baraka Nusantara) berkunjung ke tanah Sembalun, untuk mencari tahu mengenai kopi Lombok yang ternyata telah lama terlantar akibat arahan pemerintah untuk menanam massal bawang putih pada akhit tahun 70an. Banyak hal yang membuat hati mereka tergetar, salah satunya ketika Pak Wathan dan Edison (pendiri Baraka Nusantara) mengajak mereka untuk mengunjungi sebuah sekolah dasar di Sajang, salah satu desa di kecamatan Sembalun. Kondisi ruangan belajar mengajar yang sangat menyedihkan, menyambut kedatangan mereka. Ruangan yang menyerupai kandang ternak, dilengkapi dengan dinding bambu tak terurus, papan tulis berlubang, dan buku-buku pelajaran yang tidak lagi relevan dengan kurikulum pengajaran di tahun 2013. Selain itu, jumlah anak-anak Sembalun yang putus sekolah dapat terbilang cukup tinggi, 15% anak usia sekolah tidak bersekolah. Tidak hanya karena jarak sekolah yang tidak dapat diakses, anak-anak menjadi buruh tani terutama saat musim panen tiba, terlebih tradisi menikah muda juga masih dilakukan oleh para orang tua hingga sekarang.

Keresahan atas kondisi pendidikan di desa seribu Masjid inilah, yang menjadi alasan kuat untuk membangun sebuah fasilitas yang dapat berkontribusi terhadap kualitas pendidikan di Sembalun. Sejalan dengan pernyataan Ki Hajar Dewantara, “Aku hanyalah orang Indonesia, yang bekerja untuk bangsa Indonesia, dengan cara Indonesia” – menghantarkan kami kepada keputusan untuk membangun sebuah Rumah Belajar, yang kami namakan dengan Sangkabira. Sangkabira dalam Bahasa Sasak memiliki arti tolong menolong. Paralel dengan program pendampingan petani-petani Kopi Sembalun guna menghidupkan kembali kopi mereka yang telah tertidur lama, Kopi Pahlawan lahir sebagai penopang berdirinya Rumah Belajar Sangkabira. Berawal dari angan-angan untuk memiliki ruang kelas yang terbuka bagi siapa saja, agar nantinya kami bisa hidup selaras dengan alam dan rukun terhadap sesama.

Terlalu banyak kebetulan dalam menjalankan kegiatan Baraka. Perlahan keinginan kami satu per satu terkabulkan. Seperti, pada awal kami menyampaikan niat pengembangan Rumah Belajar Sangkabira ini. Tanpa disangka Pak Wathan dan Edison pun langsung mendukung niat kami, tak hanya dengan tenaga dan semangat mereka, namun juga dengan menawarkan sebuah lahan seluas 2 hektar di kaki Bukit Pergasingan untuk dapat kami kelola bersama dalam membangun Rumah Belajar Sangkabira. Tanah ini berhadapan langsung dengan Gunung Rinjani dan dialiri oleh sungai Sangkabira. Sebuah lahan yang strategis, yang kami yakini bisa menjadi awal dari terbentuknya sebuah rumah belajar informal, sentra bertukar pikiran bagi para penduduk setempat dan juga pengunjung yang datang ke Sembalun. Rumah Belajar yang diharapkan akan menjadi pusat kebudayaan lokal yang dapat membantu para generasi muda untuk melestarikan kearifan lokal serta tradisi-tradisi lokal Sembalun.

Project kolaborasi #BukuUntukSangkabira: Baraka Nusantara X Buku Berkaki

Tuhan bekerja dengan caranya yang misterius, melalui charity brew satu ke charity brew lainnya, melalui project kolaborasi satu ke project kolaborasi lainnya – perlahan tapi pasti, semesta menghantarkan kami ke tujuan utama kami, yaitu membangun Rumah Belajar Sangkabira. Menurut kami, semua kegiatan yang telah kami adakan, memiliki magic soul nya tersendiri. Seperti di tahun 2015 kemarin contohnya, project kolaborasi kami dengan Kopi Keliling, Wujudkan.com, dan Catalyst Arts Shop yang berhasil membantu kami untuk menggalang dana yang cukup untuk melakukan pembangunan Rumah Belajar Sangkabira tahap 1. Contoh lain, adalah project kolaborasi terbaru kami di tahun 2016 ini – project kolaborasi #BukuUntukSangkabira dengan Buku Berkaki, yang berhasil mengumpulkan 1015 buku dan empat boks mainan untuk digunakan sebagai alat bantu mengajar di Rumah Belajar Sangkabira.

Sembalun_8
Salah satu box #BukuUntukSangkabira di salah satu shop drop box spot kita, foto milik: Goni Coffee)

Bisa dibilang project kolaborasi #BukuUntukSangkabira ini cukup unik. Karena, hingga sekarang, baik tim Baraka Nusantara dan tim Buku Berkaki belum pernah sama sekali bertemu. Rapat-rapat dalam menggodok ide dan koordinasi kami berlangsung hanya di sebuah aplikasi chat dan melalui email karena tim Baraka Nusantara tersebar di dua Negara berbeda (Indonesia dan Australia), kala itu tim Baraka Nusantara yang di Jakarta masih sangat sibuk dengan pekerjaan yang belum bisa ditinggalkan. Namun, keterbatasan jarak dan waktu, bukan merupakan faktor penghambat kolaborasi kami. Project kolaborasi #BukuUntukSangkabira ini bahkan bisa dibilang berlangsung lancar, tanpa ada kendala.

Saat menggodok ide kolaborasi kami sepakat untuk mengusung tema “Knowledge is only real, when shared” – guna mengajak masyarakat ibu kota, lintas generasi untuk berbagi ilmu mereka dengan berbagi buku atau mainannya untuk saudara-saudara kita di desa Sembalun melalui Rumah Belajar Sangkabira. Kolaborasi ini mendapatkan dukungan positif dari lima coffee shop lokal di sekitar Jakarta Selatan: Caswell’s Coffee, Goni Cofee, Toko Kopi Tuku, Toodz House, serta Sambas Coffee – sebagai tempat drop box gerakan #BukuUntukSangkabira. Respons positif juga kami terima dari seorang teman illustrator muda asli Bandung, yang berdomisili di Australia, Namira Primandari – yang membantu kami dalam proses mendesign poster dan materi-materi promosi #BukuUntukSangkabira

Dukungan yang luar biasa pula kami terima dari jejaring media, antusiasme dan respon positif yang tanpa disangka telah menyukseskan kegiatan kolaborasi kami. Buku-buku yang berdatangan, ternyata tidak hanya dari teman-teman yang di Jakarta saja, namun juga dari teman-teman kecil kita yang tinggal di Alaska (what a surprise!) dan dari luar kota. Peran para krucil Buku Berkaki selama empat minggu project kolaborasi ini juga sangat besar. Mereka rela meluangkan waktunya untuk membantu proses penyortiran, pendataan, hingga penyampulan buku-buku yang telah terkumpul. Semangat mereka yang selalu berapi-api selalu tampak jelas dari foto-foto yang dikirimkan oleh teman-teman Buku Berkaki. Antusiasme dan energi positif mereka selalu menambah syukur dan semangat kami dalam melangkah ke tahap selanjutnya – mewujudkan tempat membaca dan belajar, yang berguna bagi saudara kita di Sembalun.

Kami dari Tim Baraka Nusantara, menghaturkan banyak terimakasih bagi kalian semua yang terlibat dalam gerakan #BukuUntukSangkabira. Semoga keberkahan selalu menaungi kalian semua J . Sekarang, 1015 buku dan 4 boks mainan sudah dikemas rapih dan siap untuk meluncur dari Jakarta ke perpustakaan Rumah Belajar Sangkabira di kaki Gunung Rinjani. Tidak ada yang tidak mungkin untuk melakukan perubahan yang lebih baik untuk negeri kita tercinta. Jadi, lebih baik menghidupkan lilin, daripada mengutuk kegelapan.

 

Para Krucil Buku Berkaki dalam kegiatan penyortiran, pendataan, dan penyampulan #BukuUntukSangkabira di hari terakhir, foto milik Buku Berkaki
Para Krucil Buku Berkaki dalam kegiatan penyortiran, pendataan, dan penyampulan #BukuUntukSangkabira di hari terakhir, foto milik Buku Berkaki

Tunggu kelanjutan cerita kami ya!

Cynthia Hapsari

Aktif di Baraka Nusantara, sebuah organisasi pemberdayaan masyarakat Desa Sembalun, Lombok, NTB.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Cerita Sebelumnya

Chocolates. Creams.

Cerita Berikutnya

Berbicara Tentang Warna

Terbaru dari Blog

#RabuBacaBuku: Na Willa

Siapa bilang kalau cerita anak hanya bisa dinikmati oleh para anak kecil? Mengambil latar belakang Surabaya